Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, sekitar 2/3 wilayah negara ini berupa lautan. Dengan cakupan wilayah laut yang begitu luasnya, maka Indonesia pun diakui secara internasional sebagai Negara Maritim yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982 yang memberikan kewenangan dan memperluas wilayah laut Indonesia dengan segala ketetapan yang mengikutinya. Selain itu juga terjadi perluasan hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE serta landas kontinen. Selain itu Indonesia juga masih memiliki hak atas pengelolaan natural reseources di laut bebas dan di dasar samudera. Kesemuanya ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya sehingga untuk menunjang pengelolaan tersebut dibutuhkan transportasi laut sebagai roda- ekonomi sehingga kita tidak dapat menafikan pentingnya peran para pelaut.
Kebutuhan tenaga pelaut yang semakin tinggi baik nasional/ internasional menuntut jumlah pelaut yang memadai disertai dengan mutu dan kualitas yang baik. Profesi sebagai pelaut memiliki keadaan pekerjaan dan kehidupan (di laut) yang sangat berbeda dengan di darat. Pola pekerjaan yang tidak teratur, tekanan batin, jauh dari keluarga, dan kurangnya waktu untuk menyesuaikan diri adalah hal-hal yang dapat memicu terjadinya stres pada Pelaut. (Tips Menjaga Kebugaran di Laut, 2008).
Oldenburg, Baur & Schlaich (2010) mengemukakan bahwa pelayaran merupakan stresor mental, psikososial dan fisik serta
tidak dapat dibandingkan dengan pekerjaan darat.
Stres dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stres tidak hanya dapat berdampak positif tetapi juga dapat berdampak negatif. Salah satu profesi yang rentan terhadap stres adalah Pelaut. Jika stres tersebut berdampak negatif pada pelaut, maka hal tersebut dapat mengakibatkan sesuatu yang buruk terjadi, seperti terjadinya kecelakaan kerja. Selain itu, stres kerja yang dialami oleh awak kapal dapat mempengaruhi kinerja mereka, yang mana awak kapal setiap harinya harus melaksanakan dinas jaga selama beberapa jam.
Seyle (1976) dalam Munandar (2006) mengemukakan bahwa stres adalah keadaan didalam karakteristik makhluk hidup dengan sindrom adaptasi umum. Dengan kata lain adalah respon non spesifik dari tubuh terhadap permintaan yang dibuat untuk itu. Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi secara optimal, atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit stres, tetapi datang dari pelbagai macam pembangkit stres dan sebagian besar adalah dari waktu manusia bekerja, karena lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan pekerja (Ferdy, 2010).
Dalam profesi sebagai pelaut, lingkungan kerja mereka memiliki kemungkinan besar mengalami hal-hal yang menakutkan, mengejutkan atau mengakibatkan trauma psikologis sehingga dapat menimbulkan terjadinya stres dan terjadi perubahan dalam kepribadian seseorang dari pengalaman yang dialaminya.
Faktor-faktor penyebab stres dalam pekerjaan sangatlah banyak. Pada Pelaut, stresor yang dapat mempengaruhi stres mereka dapat dikarenakan oleh banyak faktor, baik karena faktor kondisi pekerjaan ataupun faktor organisasi (Indri, 2010).
Masalah stres kerja menjadi sangat penting karena karyawan yang mengalami stres kerja terlalu besar dapat mengancam kemampuannya menghadapi lingkungan dan akhirnya berkembang berbagai macam stres kerja yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka (Alwi, dalam Elfia, 2009). Di Jepang, pemerintah secara berkala memantau tingkat stres yang terjadi di tempat kerja dan menemukan bahwa jumlah karyawan yang merasakan tingkat stres tinggi dalam menjalani pekerjaan sehari-hari mengalami peningkatan dari 51% di tahun 1982 menjadi hampir dua pertiga dari total populasi pekerja yang ada di tahun 2000. Pada tahun yang hampir sama yaitu sekitar tahun 2000, lebih dari 6000 perusahaan di Inggris mengeluarkan rata-rata lebih dari 80 ribu dollar Amerika untuk membayar kerusakan yang ditimbulkan akibat stres pada karyawan (Saragih, 2011).
Dalam sebuah survey yang diadakan oleh National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), 25 persen peserta survey menyatakan pekerjaan menjadi satu-satunya sumber terbesar dari stres dalam kehidupan mereka (Arden, 2002). Stres kerja juga menyebabkan pegawai di AS kehilangan antara 200-300 miliar dolar AS per tahun. Hal ini terjadi karena hancurnya produktitivitas, meningkatnya ketidakhadiran, turn over dan biaya pengobatan karyawan. Adapun biaya pegawai paling dramatis didominasi oleh kecelakaan industri sekitar 60-80 persen akibat stres kerja, sedangkan keluar masuk pegawai.
Gordon (dalam Wijino, 2006) mengemukakan bahwa pada tingkat tertentu, stres yang dialami individu jika dibiarkan berlarut-larut akan berpengaruh pada prestasi kerja individu dalam organisasi. Namun, stres pada tingkat moderat dapat bersifat konstruktif yang
berpengaruh positif terhadap individu yaitu mendorong dan menantang individu untuk selalu aktif dan produktif dalam organisasi. Sebaliknya, stres pada tingkat yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap individu seperti menjadi kurang bersemangat dalam kerja, malas, putus asa, dan menurun prestasi kerjanya.
Pendapat lain mengemukakan bahwa stres dibagi ke dalam dua jenis yaitu distres dan eustres. Eustres adalah perasaan-perasaan yang individu (positif), yang dialami karena mendapatkan penghargaan atau pujian atas dasar prestasi kerjanya yang memuaskan. Sedangkan distres adalah perasaan- perasaan yang tidak menyenangkan individu (negatif) dan dapat menyebabkan prestasi kerjanya menurun. (Matteson dan Ivancevich dalam Wijono, 2006). Sedangkan pengertian stres dalam penelitian ini adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja laut mereka atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai stres yang memiliki efek negatif dalam dunia kerja laut. Stres yang berdampak negatif terhadap pelaut bisa berdampak pada sikap kerja yang acuh tak acuh, motivasi turun drastis dan keterampilan kerja tidak berkembang, dan akhirnya mengakibatkan pelaut yang meninggalkan kapal secara mendadak dengan atau tanpa pemberitahuan kepada pihak kantor juga akan mengakibatkan terhambatnya pengoperasian kapal. Tanpa susunan pelaut yang lengkap, kapal dilarang berlayar.
Menurut Everly dan Giordano (dalam Munandar, 2009) menyatakan bahwa stres akan mempunyai dampak pada suasana hati (mood), otot kerangka (muscuoskeletal) dan organ-organ dalam badan (visceral). Stres yang tidak diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketidakmampuan seseorang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun di luar pekerjaan. Mengingat besarnya pengaruh stres pada karyawan terhadap kinerjanya, pengelolaan terhadap stres itu sendiri harus mendapatkan perhatian dan kesungguhan dari manajemen perusahaan agar tujuan organisasi bisa lebih mudah dicapai (Rahmawati, 2008).
Sebagai studi pendahuluan, penulis melakukan wawancara kepada lima orang pelaut, mereka juga mengalami tingkat stres seperti mual, pusing karena ombak laut yang besar, tekanan dari atasan dan kebosanan karena berada di wilayah perairan selama beberapa minggu. Ditambah lagi dengan keadaan alam yang terkadang tidak menentu yang bisa meningkatkan stres kerja awak kapal. Selain itu, diperkuat oleh adanya tuntutan dari perusahaan untuk bisa sampai ditujuan dengan tepat waktu. Hal ini dapat memberikan tekanan kerja atau stres kerja pada awak kapal. Stres kerja akan meningkat jika terjadi badai atau cuaca buruk di lautan.
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa fenomena stres di kalangan pelaut terutama ketika sedang dalam pelayaran merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti. Pelaut membutuhkan suatu cara agar dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya ketika sedang berlayar, sehingga dapat terhindar dari stres atau yang biasa disebut dengan strategi coping yang digunakan individu dalam mengatasi masalahnya. Coping merupakan perubahan kognitif dan konatif sebagai usaha untuk mengatasi tuntutan-tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai melebihi kemampuan seseorang (Folkman, dkk., 1986). Perilaku ini akan berlangsung melalui berbagai pertimbangan dan bahkan melibatkan emosi berupa kesadaran bahwa mereka juga harus membantu orang lain di
saat mereka sendiri sedang menghadapi masalah.
Coping ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk strategi coping yang mengarah pada tingkah laku maupun proses kognitif individu dalam menghadapi tekanan tertentu (Lazarus, 1993). Secara garis besar ada dua bentuk coping yaitu problem focused coping (PFC) dan emotional focused coping (EFC). PFC adalah coping yang berfokus pada penyelesaian masalah dengan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk mengubah dan mengatasi keadaan yang dapat membuat tertekan. EFC adalah coping yang berfokus pada emosi yang menggunakan reaksi emosi atau kemampuan emosional untuk menghadapi situasi menekan (Carver, dkk., 1989).
Strategi coping lain yang umum digunakan adalah strategi coping dengan menghadapi masalah (active coping), yaitu segala usaha – usaha baik secara emosional maupun tindakan yang dilakukan untuk mengatasi tekanan dan strategi coping dengan menghindari masalah (avoidant coping), merupakan segala cara baik emosional maupun tindakan yang dilakukan untuk menghindar dari situasi tekanan (Holahan dan Moos, 1987). Lebih lanjut Holahan dan Moos (1987), mengatakan bahwa tindakan individu mengatasi masalah bisa positif ataupun negatif. Strategi coping positif antara lain adalah, tindakan atau usaha untuk menghilangkan sumber stresor, memikirkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stresor, mencari bantuan informasi atau nasehat tentang apa yang harus dilakukan, mencari dukungan empati atau dukungan emosional dari orang lain, menekan aktivitas lain agar dapat berkonsentrasi pada masalah yang sedang dihadapi, mendekatkan diri pada Tuhan atau biasa disebut religius coping, berpikir positif, penerimaan, dan mampu mentertawakan diri. Sedangkan tindakan coping yang negative dapat berbentuk antara lain, melontarkan atau menahan emosi secara berlebihan, mengingkari masalah yang sedang dihadapi, menyalahkan diri sendiri atau Tuhan sebagai sumber masalah. Perilaku memutus hubungan dengan sumber masalah, putus asa, menarik diri dan tidak mau berusaha lagi dan melarikan diri pada penggunaan alkohol dan obat terlarang.
Salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan terjadi atau tidak terjadinya stres kerja adalah religiusitas. Menurut Mangkunegara (2000) nilai- nilai agama dalam bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan pondasi yang paling utama, kecil kemungkinan akan memperoleh dampak negatif dari stres. Akan tetapi, sebaliknya ia mampu mengendalikan stres ini secara lebih bermakna.
Religiusitas menurut Fetzer (1999) adalah seberapa kuat individu penganut agama merasakan pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengalami kebermaknaan hidup dengan beragama (religion meaning), mengekspresikan keagamaan sebagai sebuah nilai (value), meyakini ajaran agamanya (belief), memaafkan (forgiveness), melakukan praktek beragama (ibadah) secara menyendiri (private religious practice), menggunakan agama sebagai coping (religious/spiritual coping), mendapat dukungan penganut sesama agama (religious support), mengalami sejarah keberagamaan (religious/ spiritual history), komitmen beragama (commitment), mengikuti organisasi/ kegiatan keagamaan (organizational religiusness) dan meyakini pilihan agamanya (religious preference).
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang juga memperkuat asumsi mengenai adanya hubungan antara stres dan religiusitas. Penelitian sebelumnya telah banyak mengemukakan adanya
korelasi negatif antara stres dengan religiusitas pada partisipan dari berbagai jenis populasi di USA (Raleigh dkk, 1992). Suatu penelitian dari Bishop (2008) yang dilakukan pada partisipan dewasa tua dari komunitas gereja Katholik di USA, menemukan bahwa partisipan dengan tingkat religiusitas yang lebih tinggi memiliki tingkat stres yang lebih rendah, dibandingkan dengan dengan partisipan dengan tingkat religiusitas yang lebih rendah. Selain itu Bishop (2008) juga menemukan bahwa religiusitas memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap stres dibandingkan dengan dukungan sosial. Hal ini sangat menarik mengingat dukungan sosial yang sifatnya sangat tergantung dari orang lain, tidak seperti religiusitas yang sifatnya tidak tergantung pada orang lain sehingga dapat dilakukan kapan saja.
Selanjutnya penelitian lain yang dilakukan oleh Nove Ira (2003) dengan judul “Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Stres Kerja pada Pekerja Industri”, menunjukkan hasil bahwa religiusitas memiliki hubungan yang signifikan dengan stres kerja pada pekerja industri”. Kresna Astri (2009) dalam penelitiannya yang berjudul hubungan antara stres dan religiusitas pada dewasa muda beragama Islam menunjukkan hasil bahwa adanya korelasi negatif secara signifikan antara stres dan religiuitas pada partisipan penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Park, Cohen dan Herb (1990) terdapat bukti bahwa lebih besarnya tingkat religiusitas individu diprediksi berpengaruh kepada depresi yang dialami dan menjadi pelindung dari efek-efek negatif stres kehidupan terutama stres yang tidak terkontrol.
Coping religius adalah menggunakan kepercayaan terhadap agama atau ajaran agama untuk mengatasi kondisi stres.
Beberapa contoh dari coping religius adalah berdoa, meningkatkan iman, mencari pegangan dari keyakinan terhadap ajaran agama, serta mencari dukungan dari sesama jamaah yang lain (Abernethy, dkk., 2002). Ajaran agama Islam menyebutkan bahwa manusia hendaknya selalu sabar ketika menghadapi berbagai cobaan hidup, termasuk kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan yang mereka alami. Seperti yang dikemukakan oleh Al Ghazali (Arraiyyah, 2002) bahwa sabar adalah suatu bagian dari akhlak utama yang dibutuhkan seorang muslim dalam masalah dunia dan agama. Artinya, sifat sabar sangat diperlukan dalam rangka memacu kualitas hidup seseorang, baik yang sifatnya lahiriah maupun bathiniah, material maupun spiritual. Seseorang yang sabar memahami bahwa setiap masalah dan tantangan harus dihadapi dengan tabah untuk mengatasinya dan untuk mewujudkan kebaikan yang diharapkan (Arraiyyah, 2002).
Berdasarkan hal tersebut, kesabaran merupakan salah satu ajaran dalam agama Islam yang dapat mempengaruhi seseorang untuk senantiasa melakukan tindakan ataupun perilaku yang baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Nilai-nilai yang terkandung dalam sifat sabar akan mampu menghindarkan seseorang dari tekanan masalah sehingga tidak mudah mengalami stres. Dengan kata lain, kesabaran adalah salah satu bentuk religius coping positif yang dilakukan individu khususnya, umat Muslim dalam mengatasi stres yang dialami.
Arraiyyah (2002) juga menyebutkan bahwa sabar berarti mampu mengendalikan diri, tidak putus asa, sikap yang tetap tenang dalam menghadapi dan menyelesaikan segala macam permasalahan yang menimpa. Dengan demikian pelaut yang bersabar akan senantiasa berusaha menemukan jalan keluar dari permasalahannya secara tenang, sehingga dapat menentukan solusi yang
tepat atas masalah- masalahnya. Disebutkan pula bahwa seseorang yang rugi adalah orang yang tidak mengerti bagaimana cara menghadapi masalah dengan cara yang benar, sedangkan orang yang beruntung adalah mereka yang bersabar dan tahu bagaimana cara menghadapi permasalahan secara bijak (Turfe, 2006). Begitu juga dengan pelaut ketika mengalami tekanan atau pun masalah lainnya, dengan kesabaran seharusnya pelaut akan mampu menghadapi masalah dengan tenang, sehingga tidak mudah mengalami stres. Selain itu, sebagai hamba Allah sudah seharusnya manusia selalu bergantung kepada-Nya, hamba yang selalu meminta petunjuk serta pertolongan kepada-Nya atas setiap permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu dalam memecahkan semua permasalahan, seharusnya manusia selalu berada di jalan- Nya dengan memohon petunjuk dan pertolongan kepada-Nya. Pertolongan dari Allah akan datang jika seseorang senantiasa mematuhi perintah-perintahNya, dimana salah satunya yaitu dengan kesabaran, sebaliknya tanpa kesabaran maka pertolongan dari Allah tidak akan datang.
Dalam usaha problem solving menyangkut berbagai urusan kehidupan, sabar merupakan kekuatan yang sangat besar dan efektif. Oleh karena itu al Qur’an secara jelas mengingatkan agar dalam upaya memohon pertolongan kepada Tuhan, tidak melupakan kesabaran dan doa (shalat). Ubaedy (2007) mengungkapkan bahwa kesabaran merupakan penentu keberhasilan dan kegagalan pada kehidupan seseorang.
Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa satu orang yang sabar mampu mengalahkan sepuluh lawan dalam pertempuran, atau setidaknya mereka mampu menghadapi lawan sebanyak dua kali jumlah mereka (QS 8: 65-66). Ia juga merupakan suatu anugerah yang besar. Tentang ini Rasulullah SAW bersabda, “…dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih
lapang daripada kesabaran.” (Muttafaqun Alaih). Dengan kata lain, orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya. Walaupun Rasulullah tidak secara khusus menyebutkan kata sabar di dalam haditsh ini, tapi para ulama menjelaskan haditsh ini dalam konteks kesabaran.
Menurut Arvan (http://www.hidayatullah.com) definisi sabar tidak sesempit pengertiannya yang selama ini dominan dalam masyarakat, yaitu mengurut dada sehingga menuntun kepada pemahaman bahwa sabar identik dengan penderitaan. Mengurut dada menunjukkan bahwa seseorang tidak ikhlas, bahwa seseorang melakukan sesuatu dengan terpaksa. Padahal, sabar sama sekali berbeda dengan terpaksa. Sabar adalah melakukan sesuatu dengan senang hati.
Sabar memiliki pengertian yang luas. Secara umum para ulama menjelaskan bahwa sabar memiliki tiga aspek, yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar menahan diri dari yang dilarang oleh-Nya, dan sabar terhadap ketetapan-Nya. (http://www.ilmupsikologi.com). Kesabaran merupakan karakter yang sangat mulia dan ia bisa diraih dengan cara melatih dan membiasakan diri dengannya. Rasulullah SAW pernah menjelaskan, “…barang siapa yang mensabar-sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah akan menjadikannya seorang yang sabar…” (HR. Bukhari).
KESABARAN
Kata sabar berasal dari bahasa arab yakni shabara-shabura-sibran-shabaratan yang artinya tidak mengeluh kepada selain Allah SWT tentang penderitaan yang menimpanya. Sabar secara bahasa adalah menahan dan mencegah.
Imam Dzun Al-Misri mengemukakan bahwa sabar adalah menjauhi larangan, tenang ketika tertimpa musibah, dan menampakkan dirinya orang cukup meskipun dia bukan orang yang berada. Sejalan dengan hal tersebut Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah mengemukakan bahwa sabar adalah menahan perasaan gelisah, putus asa dan amarah, menahan lidah dari mengeluh, menahan anggota tubuh dari mengganggu orang lain.
Dalam usaha problem solving menyangkut berbagai urusan kehidupan, sabar merupakan kekuatan yang sangat besar dan efektif. Oleh karena itu al Qur’an secara jelas mengingatkan agar dalam upaya memohon pertolongan kepada Tuhan, tidak melupakan kesabaran dan doa (shalat).
Dalam Al-Qur’an kata sabar dengan segala bentuknya disebutkan sebanyak 103 kali, dalam 45 surat, dan mencakup 90 ayat. Antara lain pada surah Al Baqarah (2) ayat 153 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang- orang yang sabar”. Dalam surah Al Ahqaaf ayat 35 yang artinya “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”.
Umar Yusuf (2010) mengemukakan bahwa sabar adalah kemampuan individu dalam mengatur, mengendalikan, mengarahkan (pikiran,perasaan dan tindakan), serta mengatasi berbagai kesulitan secara komprehensif dan integrative dengan 3 kunci utama yaitu teguh, tabah, dan tekun (Umar Yusuf, 2010). Sabar dibagi dalam tiga aspek, yakni sebagai berikut:
e) Bersedia menerima umpan balik untuk memperbaiki diri dan perilakunya, yaitu siap (tanpa perasaan kecewa) terhadap hasil tanggapan dari orang lain sebagai rangsangan (dorongan) untuk bertindak ke depan sehingga akan mengerti dan pada atas tugas-tugas yang akan dilakukan.
3) Aspek Tekun
- a) Terencana, yaitu adanya penjadwalan
dalam melakukan suatu kegiatan atau mempersiapkan waktu untuk melakukan kegiatan serta memiliki langkah-langkah apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.
- b) Terarah, yaitu memiliki tujuan atau target setiap melakukan suatu kegiatan baik dalam hal pengerjaan maupun dalam menyelesaikan.
- c) Antisipatif, yaitu mampu untuk menghadapi hal-hal yang kemungkinan akan menjadi hambatan yang baik secara fisik ataupun mental dalam mengerjakan suatu kegiatan serta mengetahui langkah-langkah yang harus ditempu bila menemui kesulitan.
Kesabaran seorang pelaut adalah kemampuan pelaut dalam mengatur, mengendalikan, mengarahkan (pikiran, perasaan dan tindakan), serta mengatasi berbagai kesulitan secara komprehensif dan integrative dengan 3 kunci utama yaitu teguh, tabah, dan tekun.
Kesabaran berbeda dengan adversity questions, self efficacy, maupun emotional intelligence. Kesabaran lebih lengkap dibandingkan dengan ketiga hal di atas atau dengan kata lain kesabaran mencakup ketiga hal di atas. Adapun perbedaannya, antara lain sebagai berikut:
a. Teori Adversity Quotient (AQ) yang
dipublikasikan oleh Dr. Paul G. Stoltz,
- Aspek Teguh
Konsekuen, yakni sesuatu yang sesuai dengan apa yang dikatakan atau yang dilakukan, seperti keyakinan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan, keberanian untuk mengambil resiko, dan optimis bahwa setiap masalah selalu ada solusinya.
Konsisten, sesuatu yang tetap, taat asas, ajeg, selaras sesuai aturan yang ada, seperti taat terhadap aturan yang berlaku dan tertib dalam melaksanakan aturan.
2) Aspek Tabah
- a) Daya tahan, yaitu kemampuan untuk
tetap pada keadaan normal baik fisik maupun psikis meskipun mengalami banyak tekanan sehingga individu mampu menguasai diri dan tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang menyimpang dari tujuan.
- b) Daya juang, yaitu kemampuan untuk berusaha sekuat tenaga dalam melakukan suatu hal sehingga terus berusaha walaupun penuh kesukaran dan bahaya.
- c) Toleran terhadap frustrasi, yaitu ambang batas untuk penambahan atau pengurangan rasa kecewa yang dialami akibat kegagalan.
-
d) Mampu belajar dari kegagalan, yaitu dapat melatih diri untuk mendapatkan kepandaian baru dari ketidak berhasilan yang pernah dialami.
Ph.D merupakan terobosan penting dalam pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan seseorang dalam menghadapi situasi–situasi masalah atau kemalangan dalam kehidupan. Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang untuk mengarahkan, mengubah cara berfikir dan tindakannya ketika menghadapi hambatan dan kesulitan yang dihadapi oleh dirinya. Adversity quotient mengusahakan bagaimana seseorang menanggapi kesulitan dan hambatan dalam hidup ini sebagai tantangan dan kemudian berpikir bagaimana caranya untuk mengatasi tantangan tersebut tanpa dipengaruhi oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya (Stoltz, 2000). Sedangkan dalam konsep kesabaran tidak diperlukan suatu kemalangan untuk menjadi sabar. Kesabaran adalah kemampuan seseorang dalam menunggu hasil akhir pada saat orang itu memperjuangkan sesuatu. Kesabaran adalah kemampuan seseorang dalam mempertahankan diri dari godaan dan serangan yang akan mempengaruhi hasil. Kesabaran adalah kemampuan seseorang dalam menjalankan sesuatu yang dibutuhkan oleh proses untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (Ubaedy, 2007)
b. Bandura (1977) menyatakan bahwa self efikasi merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasi dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai tingkat kinerja tertentu. Terdapat tiga dimensi dalam efikasi diri, yakni ssebagai berikut:
1) Magnitude, yakni sejauh mana individu merasa mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas, mulai dari yang
sederhana, yang agak sulit, hingga
yang sulit.
2) Generality, yakni sejauh manaindividu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian tugas atau situasi yang bervariasi.
3) Strength, yakni kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimili.
Dalam konsep kesabaran sendiri ini terdapat pula aspek keyakinan seperti halnya pada teori efikasi diri. Namun, pada konsep kesabaran terdapat pula aspek lainnya, seperti aspek ketabahan dan ketekunan. Sehingga jelas bahwa konsep kesabaran lebih kompleks bila dibandingkan dengan teori efikasi diri.
c. Emotional Intelligence adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam meghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa Goleman (1997). Dalam konsep kesabaran terdapat pula kemampuan memotivasi diri, ketahanan, mengendalikan emosi, dan mengatur keadaan jiwa, yakni pada aspek ketabahan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kesabaran mencakup ketiga hal diatas, dimana dalam kesabaran terdapat kemampuan untuk menghadapi situasi yang sulit dan fokus pada tujuan, keyakinan dalam melakukan sesuatu, serta kemampuan mengolah emosi.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan pada tahun 2017, diketahui bahwa stres kerja yang dialami oleh pelaut tergolong tinggi, sehingga disarankan kepada para Pelaut untuk meningkatkan Kesabaran sebagai salah bentuk dari coping stress pada saat berlayar.
Oleh : Akhmad Harahap, S.Si.T, M.Mar E (Angkatan 23)