Klaim sepihak dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas sebagian wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di dekat Kepulauan Natuna harus direspons secara serius dan hati-hati agar tidak mengorbankan kedaulatan negara. Negara-negara ASEAN diimbau bersatu dan menunjukan sikap tegas terhadap potensi gangguan dari pihak luar.
“Hanya dengan bergandengan tangan kita dapat menciptakan kawasan yang aman dan sejahtera bagi semua,” tutur Dekan Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan (UNHAN) Republik Indonesia, Mayor Jenderal TNI DR. Ir. Pujo Widodo, dikutip Selasa (5/3/2024).
Hal itu diungkapkan dalam Kuliah Pakar yang diselenggarakan oleh Program Studi Keamanan Maritim. Kuliah ini mengambil tema “Dinamika Laut China Selatan dalam Perspektif Keamanan Maritim: Tantangan, Peluang, dan Kolaborasi Regional” yang digelar Senin (4/3).
Pujo juga menyampaikan bahwa apa yang berkembang di Laut China Selatan (LCS) akhir-akhir ini perlu memperoleh perhatian yang serius, karena berpotensi mempengaruhi stabilitas kawasan, yang akan berdampak pula pada Indonesia dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, pihak-pihak yang berasal dari luar kawasan, termasuk Tiongkok yang merupakan sahabat Indonesia dan ASEAN, diimbau untuk menghormati kesepakatan damai ASEAN (Treaty of Amity and Cooperation) dan menghindari tindakan yang berpotensi menciptakan ketegangan, seperti yang baru-baru ini terjadi di ZEE Filipina.
Senada dengan Mayjen Pujo Widodo, Ketua Program Studi Keamanan Maritim UNHAN, Kolonel Laut (KH) DR. Panji Suwarno menyatakan sebagai negara kepulauan yang memiliki perairan strategis di sekitar LCS, Indonesia harus siap sedia menghadapi tantangan yang kompleks, terutama dalam mengelola sumber daya maritime dan melindungi kedaulatan wilayah.
“Kita perlu memastikan bahwa strategi pertahanan nasional tidak hanya mengatasi ancaman langsung terhadap kedaulatan, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan global yang dapat mempengaruhi keamanan maritime dan stabilitas regional, antara lain dengan memperkuat koordinasi antara pemerintah, lembaga pertahanan, dan pemangku kepentingan terkait,” tegasnya.
Dalam diskusi yang sama, Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto berpandangan bahwa berdasarkan penelusuran sejarah, klaim Tiongkok atas LCS berkembang dan cenderung makin meluas.
“Tahun 1928, pemerintah China Nasionalis mengatakan bahwa batas paling selatan dari wilayah negara China adalah kepulauan Parasel, yang terletak di bagian utara LCS. Tetapi sejak 1947, klaim China berkembang hingga hampir seluruh wilayah LCS,” tuturnya.
Dalam perkembangannya, menurut pria yang juga dosen dan pemerhati Tiongkok Universitas Pelita Harapan (UPH) itu, Tiongkok mengembangkan apa yang dinamakan sebagai 11 garis putus-putus, yang di era RRT berganti menjadi 9 garis putus-putus, dan kini menjadi 10 garis putus-putus.
“Kehadiran 9 garis putus-putus itu menggemparkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada tahun 1990-an, karena salah satu garis tersebut menyasar ke wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna,” jelasnya.
Dalam pandangannya, ini berarti RRT menganggap sebagian wilayah Indonesia yang ditandai dengan garis putus-putus tersebut sebagai milik RRT, karena negara itu bersikeras memiliki “kedaulatan tak terbantahkan, hak berdaulat dan yuridiksi terhadap perairan, dasar laut, beserta materi terkandung” di wilayah di dalam garis putus-putus tersebut.
Johanes juga mengingatkan bahwa berdasarkan penelusuran sejarah, klaim RRT pada masa lalu pernah berkembang menjadi konflik militer, yaitu pertempuran dengan Vietnam pada Januari 1974, yang mengakibatkan pengambilalihan kepulauan parasel oleh RRT dari Vietnam Selatan.
Johanes berharap Indonesia makin meningkatkan potensi penegakan hukum dan kedaulatan di wilayah ZEE Indonesia yang diakui oleh RRT itu. Ia juga berharap negara-negara ASEAN memperkuat persatuan dan meningkatkan ketegasan terhadap RRT, serta menghimbau negara tersebut agar menjaga semangat damai ASEAN dan bekerja sama dengan ASEAN bagi terciptanya kode etik prilaku (Code of Conduct) di LCS, yang diharapkan dapat menjadi norma demi menjaga stabilitas di kawasan tersebut.
Sementara itu, pemerhati kemaritiman Laksda (Purn) Dr Surya Wiranto menekankan pembahasan pada pemanfaatan sumber daya di wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat kepulauan Natuna sebagai bagian dari diplomasi pertahanan (defense diplomacy). Menurut beliau, secara yuridis, Indonesia memiliki hak ekslusif untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (dalam kaitan dengan landas kontinen), sesuai dengan Hukum Laut Internasional (UNCLOS), khususnya pada artikel 77 bagian IV UNCLOS, yang didukung dengan artikel 81 mengenai pengeboran.
“Sebaliknya, klaim Tiongkok berdasarkan 9 garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum internasional sama sekali, apalagi berdasarkan UNCLOOS,” tutur mantan perwira tinggi TNI AL itu.
Menurut Surya, Indonesia perlu mengejawantahkan hak eksklusif di atas dengan melakukan ekplorasi dan eksploitasi. Selain pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan ekonomi bangsa, eksplorasi dan eksploitasi juga diperlukan untuk membantu menjadi stimulus untuk menjaga keutuhan teritorial, landas kontinen, dan ZEE Indonesia.
Beliau juga berpandangan bahwa penguasaan efektif pulau-pulau terluar Indonesia, dibarengi penolakan terus menerus terhadap klaim Tiongkok perlu dilakukan, demi mempertahankan hak berdaulat Indonesia.
“Kita harus menjadikan hilangnya wilayah Indonesia di Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pengalaman yang tidak boleh terulang kembali. Oleh karenanya, tindakan preventif perlu dilakukan karena lebih baik dibandingkan tindakan reaktif,” tuturnya.
Bagi purnawirawan perwira tinggi yang juga pakar hukum kelautan itu, upaya mempertahankan kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia membutuhkan strategi yang matang. “Hanya dengan strategi yang matang dan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat memastikan keamanan dan stabilitas wilayahnya, serta memperkuat posisinya sebagai pemain kunci di kawasan Asia Tenggara,” pungkasnya.
Senada dengan para pembicara di atas, Dr (H.C) Capt. Marcellus Jayawibawa menyampaikan arti penting LCS bagi keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara.
“Perairan seluas 3.500.000 kilometer persegi itu merupakan jalur pelayaran yang menghubungkan Asia dengan Eropa dan Amerika, dengan satu per tiga transportasi maritime dunia melewati wilayah ini, membawa perdagangan senilai 40 ribu triliun rupiah per tahun,” tutur pakar maritim tersebut.
Namun menurutnya, klaim RRT terhadap LCS berdampak negatif terhadap hak berdaulat Indonesia, terutama dalam hal kebebasan berlayar dan eksploitasi sumber daya alam di ZEE Indonesia. Padahal ZEE Indonesia sangat luas dan kaya akan sumber daya alam seperti ikan, minyak, dan gas alam.
“Oleh karena itu Indonesia harus mempertahankan hak berdaulatnya dan menjaga kepentingan nasional dengan tetap berpegang pada hukum internasional dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN dan mitra strategis lainnya,” tandas pria yang aktif dalam Ikatan Keluarga Alumni Lembaga Ketahanan Nasional ini.
Sumber : www.detik.com