CABM, 10 Mei 2020
Abstrak
Ketika program Tol Laut yang dilakukan oleh pemerintah sudah berjalan hampir 5 (lima) tahun, mencatat capaian berupa terciptanya konektivitas baru pada daerah terpencil terluar tertinggal dan perbatasan yang dibuktikan dengan jumlah pelabuhan singgah bertambah, distribusi logistik khususnya barang kebutuhan pokok dan barang penting yang lebih besar dibandingkan masa sebelumnya serta menurunnya disparitas harga di beberapa daerah, namun masih banyak yang harus diperbaiki dan ditingkatkan pada program ini ke depan. Evaluasi yang banyak dilakukan berbagai instansi, Lembaga dan stakeholder masih menemukan bahwa program tol laut belum mampu menurunkan disparitas harga di wilayah-wilayah yang lokasinya jauh dari pelabuhan karena masih diperlukan moda lanjutan untuk menuju penerima barang. Ada tiga aspek yang ingin dicapai dalam program tol laut yaitu ketersediaan (Availability), kemudahan akses konektivitas pengiriman (Accessibility), dan disparitas harga barang kebutuhan yang lebih terjangkau oleh masyarakat (Affordability).
Kapal yang disediakan pemerintah, khususnya menggunakan subsidi pengoperasian kapal masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh industri daerah untuk membawa hasil produksi karena masih lemahnya konsolidasi muatan, terbatasnya infrastruktur seperti jalan menuju ke pelabuhan, kapasitas dermaga, fasilitas gudang dan penumpukan kontainer, terbatasnya reefer kontainer dan sumber listrik. Muatan balik yang masih rendah bukan hanya menjadi masalah bagi program tol tetapi lebih tepatnya pembangunan yang selama ini dilakukan belum mampu membangkitkan industri daerah untuk dapat menjual hasil daerah dalam jumlah yang lebih besar. Produk perikanan yang selama ini menjadi komoditi terbesar yang dihasilkan wilayah Timur masih harus disupport dengan efisiensi logistik karena biaya pengiriman masih dipandang cukup tinggi.
Paper ini untuk memberikan penekanan kembali pada pentingnya konektivitas lanjutan setelah kapal tol laut membawa barang sampai di pelabuhan tujuan daerah 3TP. Dan juga paper ini memberikan pengetahuan bagaimana mengangkut muatan tol laut menggunakan angkutan jalan, angkutan sungai, danau dan penyeberangan dan angkutan udara untuk menjamin bahwa barang yang dibutuhkan masyarakat bisa sampai ke wilayah yang paling terdalam dan terpencil sesuai dengan kondisi alam dan infrastruktur yang tersedia. Kata Kunci : Tol Laut , akses konektivitas, ketersediaan, dan disparitas harga
Gambaran singkat kebijakan Tol Laut
Dalam program Nawa Cita yang menjadi misi dari strategi kebijakan pembangunan ekonomi baru yang dilaksanakan pemerintahan Jokowi tahun 2014 s/d 2019 diantaranya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Strategi ini diambil untuk melanjutkan tugas pemerintah Indonesia dalam melakukan pemerataan pembangunan Indonesia bagian timur, mengurangi kesenjangan kesejahteraan sosial dan untuk mengembangkan industri lokal berbasis wilayah sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah. Dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menunjukkan bahwa provinsi di wilayah timur Indonesia mempunyai angka yang sangat rendah, hal ini menggambarkan bahwa pekerjaan rumah pemerintah untuk membangun dan mengembangkan pembangunan yang dapat menggerakkan industri daerah timur masih sangat banyak, dikarenakan kinerja operasional pelayanan transportasi harus ditingkatkan sehingga efektif dan efisien melayani kebutuhan dan kehidupan masyarakat melalui pendekatan keterpaduan antar moda. Kata “terpadu” (M.Y. Jinca, 2006) mempunyai arti bahwa kegiatan transportasi dilakukan secara menyeluruh meliputi seluruh sub sektor (darat, penyeberangan, laut, udara) dan menyatu membentuk suatu kesatuan system yang padu (M.Y. Jinca, 2011).
Di awal tahun 2016 pemerintah mulai menjalankan Program tol laut dengan mengusung misi utama untuk mengurangi disparitas harga barang, terutama bahan-bahan kebutuhan pokok, antara di Jawa dengan luar Jawa, khususnya wilayah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Perbatasan (3TP) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan dapat disimpulkan bahwa daerah tertinggal adalah daerah yang penduduknya belum berkembang dan fasilitas untuk berkembang seperti pendidikan, kesehatan, dan transportarsi serta komunikasi tidak memadai, sedangkan sumberdaya alam tidak mudah dimanfaatkan karena wilayahnya sangat rentan terhadap gangguan ekologis (K.A. Ralahalu, M.Y. Jinca, L.D Siahaan, A. Sihaloho, 2013). Program Tol Laut juga mempunyai misi membangun konektivitas antar wilayah sehingga daerah 3TP dapat berkembang karena didukung dengan akses transportasi laut berupa kapal yang rutin dan terjadwal. Misi tersebut sesuai dengan komitmen Presiden untuk membangun dari pinggiran. Program Tol Laut ini dilaksanakan melalui berbagai program meliputi: 1) Program pengembangan pelabuhan, dan 2) Program penyediaan rute pelayaran perintis penumpang dan barang dengan kapal-kapal berbagai jenis seperti Tol Laut Logistik angkutan barang, angkutan perintis, Penumpang Kelas Ekonomi, angkutan khusus ternak, kapal rede dan kapal Pelayaran Rakyat. Hal ini dinyatakan juga secara konsepsional, pengembangan pelabuhan utama, pengumpul di KTI mempunyai pertimbangan penting yang dapat menunjang dan berdampak jauh terhadap pembangunan dan pengembangan perekonomian KTI (M. Yamin Yinca, 2011).
Dalam rangka menunjang program Tol Laut, beberapa instrumen kebijakan dalam pelaksanaan program tol laut telah disiapkan oleh Kementerian Perhubungan meliputi (i) pengadaan kapal-kapal baru, (ii) penetapan trayek/rute dari beberapa pelabuhan pangkal ke berbagai kota dan pulau di wilayah 3TP dan KTI, (iii) penetapan pelabuhan tol laut, khususnya pilot project (iv) subsidi baik untuk operasional kapal tol laut maupun kapal ternak, (v) penambahan sarana bongkar muat pelabuhan di wilayah 3TP dan dan KTI, seperti forklift, reachstacker, dan Rigid Truck Container, bahkan ada juga kontainer masuk desa menggunakan mini kontainer, dan (vi) sistem IT pendukung seperti IMRK (Informasi Muatan Ruang Kapal) sebagai platform Digital untuk reservasi booking container/Shipping Instruction online sampai Delivery Order online dalam usaha tranparansi dan mengantisipasi monopoli, dan kelak dapat dikolaborasikan dengan system Inaportnet, dan system pengawasan perdagangan dalam negeri yang dimiliki Kementerian Perdagangan.
Pembangunan pelabuhan merupakan prasarana dan infrastruktur yang sangat dibutuhkan dalam membangun konektivitas dalam rangka mensukseskan program konektivitas Tol Laut, pemerintah sampai dengan tahun 2019 telah membangun pelabuhan sebanyak 636 Pelabuhan Laut yang terdiri dari pelabuhan utama 28 lokasi yang berfungsi sebagai tempat pemuatan bapokting dan hasil industri yang dibutuhkan daerah, pelabuhan pengumpul 164 lokasi yang berfungsi sebagai tempat tujuan muatan Barang Pokok dan Penting (Bapokting) setelah pelabuhan utama, pelabuhan pengumpan regional 166 lokasi berfungsi sebagai tempat tujuan lanjutan muatan Bapokting setelah pelabuhan pengumpul , dan pelabuhan pengumpan lokal 278 lokasi berfungsi sebagai tempat tujuan lanjutan muatan Bapokting setelah pelabuhan pengumpan regional. Hal ini dikarenakan peranan infrastruktur dan jaringan pelayanan adalah memberikan akses ke tujuan beraktivitas dan mobilitas pergerakan (K.A. Ralahalu, M.Y. Jinca, L.D Siahaan, A. Sihaloho, 2013).
Setelah pelabuhan tersedia, pemerintah telah mengalokasikan pembangunan kapal baru sebanyak 239 unit, terdiri dari kapal-kapal perintis berbagai ukuran (60 unit), kapal kontainer (15 unit), kapal ternak (6 unit), kapal rede (20 unit) dan Kapal Pelra (138 unit), kapal – kapal tersebut dibangun dalam berbagai ukuran untuk melayani berbagai level konektivitas mulai dari yang terkecil kapal pelra seri Banawa Nusantara 35 GT, Kapa Rede seri Gandha Nusantara 90 GT, kapal perintis seri Sabuk Nusantara ukuran 200 DWT, 350 DWT, 500 DWT, 750 DWT, 1200 GT hingga 2000 GT, Kapal Container Feeder seri Kendhaga Nusantara 100 TEUs, dan Kapal Ternak seri Camara Nusantara kapasitas 500 ekor sapi. Dengan pembangunan kapal ini diharapkan pemerintah bisa hadir memenuhi kebutuhan konektivitas yang tidak mampu terlayani oleh jenis kapal yang belum dimiliki oleh pihak swasta. Pembangunan kapal oleh pemerintah ini untuk menstimulus perusahaan pelayaran melalui keperintisan yang kelak jika pertumbuhan perdagangan yang diangkut lewat kapal-kapal perintis ini sudah menguntungkan dari sisi bisnis komersial selanjutnya akan diserahkan pengoperasiannya kepada pihak swasta melalui berbagai bentuk kerjasama yang akan disiapkan.
Capaian Program Tol Laut
Pada program Tol Laut jilid I yang dilaksanakan 2015 s/d 2019 pemerintah mengklaim telah berhasil membangun konektivitas kewajiban pelayanan publik tol laut logistik Jumlah trayek tol laut meningkat lebih dari tiga kali lipat dari hanya 6 trayek/rute (2016) yang seluruhnya merupakan penugasan, menjadi 20 trayek/(2019) yakni 13 penugasan dan 6 melalui lelang (swasta). Jumlah pelabuhan yang dilibatkan sebanyak 3 pelabuhan pangkal plus 40 pelabuhan singgah (2016) berkembang menjadi 5 pelabuhan pangkal, 4 pelabuhan transhipment dan 73 pelabuhan singgah (2019). Volume komoditas yang diangkut menunjukkan tren peningkatan, yakni dari 81.404 ton (2016) menjadi 263.862 ton (2019). Demikian pula jumlah ternak yang diangkut oleh kapal ternak meningkat dari hanya 2101ton (2016) menjadi 8.534 ton (2019). Dari kapal-kapal ternak yang beroperasi di NTT saja (5 unit), berhasil diangkut 49.000 ekor (Januari-Agustus 2019), dan sangat mungkin mencapai target 70.000 ekor hingga Desember, 2019.
Biaya transport melalui tol laut secara umum lebih rendah hingga 50% dari biaya komersial, kendati terdapat beberapa kasus ketidaktransparanan dan masih tingginya biaya transportasi oleh operator tertentu. Selanjutnya, diparitas harga dapat ditekan hingga sama atau mendekati 1 banding 1 (antara harga di pulau Jawa dengan harga lokal) untuk bahan-bahan kebutuhan pokok di berbagai wilayah 3TP. Hasil monitoring menunjukkan harga bahan kebutuhan pokok di Anambas dan Wakatobi dapat diturunkan hingga 20%, di kepulauan Tidore dan pulau Muna hingga 14%, dan di Fakfak hingga 10%. Pulau-pulau terluar yang telah terlayani oleh program tol laut ini antara lain pulau Miangas, Marore, Sebatik, dan pulau Rote, dengan demikian proses Supply Chain Management dan Distribusi Channel Management pada dunia transportasi yang adalah bagian dari Sistem Pelayaran pada Angkutan di Perairan dan Kepelabuhanan yang diamanahkan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 bisa berjalan sesuai mode pengembangan moda transportasi laut, dengan tahap awal pada pola “Trade Follow Ship” dan bertahap ke pola “Ship Follow The Trade” (K.A. Ralahalu, M.Y. Jinca, L.D Siahaan, A. Sihaloho, 2013).
Jumlah trayek tol laut meningkat lebih dari tiga kali lipat dari hanya 6 trayek/rute (2016) yang seluruhnya meruapakan penugasan , menjadi 20 trayek/(2019) yakni 13 penugasan dan 6 melalui lelang (swasta). Jumlah pelabuhan yang dilibatkan sebanyak 3 pelabuhan pangkal plus 40 pelabuhan singgah (2016) berkembang menjadi 5 pelabuhan pangkal, 4 pelabuhan transhipment dan 73 pelabuhan singgah (2019).
Sebanyak 4 pelabuhan telah ditetapkan sebagai pilot project pelabuhan pangkal tol laut dan akan dipilih satu lagi, sehingga menjadi 5. Keempat pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Tanjung Perak, pelabuhan Tanjung Emas Semarang, pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, dan pelabuhan Belawan. Beberapa pelabuhan singgah dinilai telah efisien, sepeti pelabuhan Dobo, Saumlaki di Kabupaten Kepulauan Aru. Di pelabuhan ini, kapal tol laut membawa nelayan setempat untuk mencari ikan yang akan menjadi muatan balik ke pelabuhan pangkal. Potensi ikan di wilayah ini cukup besar, bisa menghasilkan 300 ton per hari.
Untuk peningkatan sarana bongkat muat, pemerintah telah menambah perlatan berat berupa forklift berkapasitas 28 ton (12 unit), dan berkapasitas 2,5 ton (12 unit). Selain itu, rigid truck container (23 unit).
Namun demikian, volume muatan sewaktu berangkat (ke wilayah 3TP) dan baliknya (dari wilayah 3TP) masih sangat ‘njomplang’. Sampai dengan Juni 2019, volume muatan yang diberangkatkan sebanyak 2.986 TEUs, sedangkan muatan baliknya hanya 267 TEUs. Gap muatan ini menunjukkan bahwa kegiatan industri di wilayah 3TP belum secara simultan dikembangkan.
Pentingnya Moda Lanjutan “Beyond Tol Laut”
Khusus di provinsi Papua dan Papua Barat, kewajiban pelayanan publik Tol Laut logistik pada tahun 2019 secara regular telah membawa Bapokting melalui pelabuhan Pomako di kabupaten mimika, pelabuhan Agats di Kabupaten Asmat, pelabuhan Merauke, Pelabuhan Moor dan Mappi di Kabupaten Bovendigul, pelabuhan Merauke, pelabuhan Oransbari di Kabupaten Teluk Wondama, Pelabuhan Waren dan Teba di Kabupaten Memberamo Raya. Permasalahannya adalah barang-barang yang sudah diturunkan ke pelabuhan-pelabuhan tersebut harus dibawa ke wilayah pedalaman dengan menggunakan kapal sungai dan penyeberangan dan pesawat perintis jembatan udara. Seperti dari pelabuhan pomako, barang harus dibawa ke bandara Moses Kilangin untuk selanjutnya diterbangkan ke Dekai dan Wamena. Di Pelabuhan Agats barang harus dilanjutkan ke Mumugu menggunakan kapal Sungai Danau dan Penyeberangan (SDP) sesuai jumlah kebutuhan dan penyesuaian ukuran gross tonnage (GT) kapal karena berhubungan dengan kondisi karakteristik perairan alur sungai dan danau. Di pelabuhan Muur dan Mappi barang harus dilanjutkan ke pedalaman Bovendigul seperti di pelabuhan sungai Tanah Merah, dari tanah merah untuk menembus wilayah pegunungan bintang, maka digunakan pesawat perintis menuju Oksibil. Demikian juga di wilayah utara, barang yang sudah sampai di pelabuhan Teba, Sarmi dan Waren harus dilanjutkan masuk ke pedalaman sungai Memberamo menuju ke pelabuhan sungai Kesanoweja. Aktivitas logistik berlangsung di dalam jejaring fasilitas dan transpor dipersatukan dalam jejaring komunikasi elektronik berbasis Komputer. Pelabuhan laut, bandar udara, terminal, pergudangan, manufaktur,dan pedagang grosir atau distributor adalah rangkaian fasilitas. Sedangkan truk, trailer, kereta api, pesawat udara, kapal kargo, kapal ferry (roll on, roll off), dan tanker adalah rangkaian moda transportasi yang senantiasa bergerak (mobile) menghubungkan fasilitas-fasiltas dari satu simpul ke simpul yang lain. Kondisi yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat bisa digunakan sebagai model konektivitas antar moda “Beyond Tol Laut. Hal ini juga bisa dilihat pada studi kasus sistem Provinsi Papua, Transportasi Laut Indonesia, M. Y. Yinca, 2011.
Bagi daerah yang lokasinya berada di pegunungan, di pedalaman sungai dan hutan yang belum tersedia akses jalan, masalah ketersediaan bapokting tidak bisa selesai jika program Tol Laut hanya berhenti di Pelabuhan laut. Jika pada program Tol Laut jilid I, 5 tahun pertama 2015 s/d 2019 pengiriman barang dari pulauJawa sebagai daerah produsen pengirim Bapokting telah sampai ke pelabuhan laut pengumpan lokal daerah 3TP. Maka pada tahap selanjutnya program Tol Laut harus diteruskan untuk pengiriman barang dari end to end agar dapat menembus wilayah pedalaman. Untuk itu muatan yang diangkut oleh kapal tol laut ke depan harus terhubung dengan moda lanjutan menggunakan kapal kapal Sungai, Danau dan Penyeberangan (SDP) dan pesawat perintis cargo (program jembatan udara). Pemerintah harus menentukan titik pelabuhan mana yang disepakati untuk pertemuan antara kapal laut dan kapal SDP serta di titik pelabuhan laut mana muatan tol laut bisa bertemu dengan bandara perintis.
Kementerian Perhubungan mendapat tantangan ke depan untuk mengkolaborasikan pertemuan dan konektivitas antar moda pada program “beyond Tol Laut” ini dengan mensinergikan Ditjen Perhubungan Laut, Ditjen Perhubungan Darat dan Ditjen Perhubungan Udara. Karena permasalahan tidak hanya selesai dengan menyediakan kapal dan pesawat namun juga bagaimana menyatukan dokumen pengangkutan seperti shipping instruction, Bill of Lading, Delivery Order dll dan entitas jasa pengurusan/freight forwarding/BUAM yang bisa mengkolaborasikan pengiriman end to end atau door to door muatan bapokting hingga sampai ke pelosok negeri.
Biaya Logistik pada program Tol Laut
Dari evaluasi penyelenggaraan program Tol Laut didapati juga bahwa subsidi yang diberikan pada pengangkutan dengan pelayaran atau freight dapat serta merta menurunkan biaya yang harus dibayarkan para pedagang sebagai Shipper yang mengirimkan bapokting dari jawa ke daerah 3TP. Subsidi port to port yang ditanggung pemerintah idealnya mampu menurunkan biaya logistik sampai dengan 30% karena biaya freight memiliki proporsi kurang lebih sekitar 30%. Hal ini tercermin pada data disparitas harga yang dirilis Kementerian Perdagangan yang mencatat dampak penurunan disparitas harga di beberapa daerah pada angka tersebut. Namun sebaliknya evaluasi yang dilakukan di beberapa daerah lainnya ditemukan bahwa harga pengiriman satu unit kontainer dari Surabaya ke beberapa daerah seperti ke NTT, Maluku, Papua dan Sulawesi Utara hampir sama dengan tarif pengiriman menggunakan kapal komersial. Dengan demikian biaya operasi kapal (Ship Operation), Operasi dermaga (Quay Transfer Operation), Operasi Gudang (Storage Operation), Operasi serah-terima (Receipt and Delivery Operation) dapat terukur dan tersubsidi dengan tepat (Lasse, D,A, 2012)
Masalah ini dapat dijelaskan terjadi karena struktur biaya pengiriman kontainer ini meliputi biaya angkutan trucking dari Gudang pengirim muatan, biaya handling container di pelabuhan muat, biaya pelayaran, biaya handling container di pelabuhan bongkar, biaya angkutan trucking dari pelabuhan Gudang penerima muatan dan biaya pengurusan dokumen dan Jasa Pengurusan. Jika digabung menjadi satu maka keseluruhannya merupakan biaya logistic dari end to end. Biaya logistik yang “dibundle” menjadi satu ini yang besarannya jika dibandingkan pengiriman kontainer dari Jakarta ke Thailand nampak lebih mahal. Usaha yang perlu dilakukan untuk menekan biaya logistik tidak hanya dengan memberikan subsidi pada pelayaran saja. Lebih dari itu dibutuhkan system yang dapat menyajikan informasi komponen biaya logistic tersebut dengan lebih transparan seperti hal nya dapat kita lihat pada aplikasi Gojek, dan Grab. Untuk itu ke depan dibutuhkan sistem berbasis IT yang bisa mengkomunikasikan biaya pada ekosistem logistic ini secara lebih transparan sehingga dapat menekan biaya yang tidak perlu atau “No Service No Pay” dan kewajaran tarif yang dikenakan.
Sinergi antar Lembaga stakeholder dalam Tol Laut.
Tol Laut jilid II juga akan didorong untuk melibatkan sinergi antar kementerian dan Lembaga karena pada jilid I kita banyak belajar bahwa misi utama program tol laut yaitu efisiensi biaya pengiriman bapokting dan muatan balik hasil industry daerah tidak bisa optimal jika hanya menjadi beban pelayaran dan pelabuhan. Regulasi tentang kewajiban pelayanan publik angkutan barang dan penetapan jenis barang akan diperbaharui menyesuaikan tantangan dan dinamika selama pelaksanaan 1) Sinergi dengan Program pengembangan SKPT (Sentra bisnis kelautan dan perikanan terpadu) dari kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mempermudah dan menekan biaya pengiriman ikan dan hasil laut seperti penyediaan reefer kontainer, electric plug, cold storage, dan ekspor direct dari pelabuhan terdekat dengan SKPT. 2) Sinergi dengan program Gerai Maritim dan Rumah Kita Bersama Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN dan Pemda guna meningkatkan efisiensi pemanfaatan Gudang penyimpanan/stok, distribusi logistic dan pengendalian harga melalui pengawasan bersama dan pemanfaatan teknologi informasi 3) Penetapan jenis barang pokok dan penting berbasis kebutuhan dan pengembangan wilayah 3TP serta pengangkutan muatan balik untuk stimulus bagi penjualan hasil industry daerah Bersama Kementerian perdagangan, kementerian pertanian, kementerian perindustrian, Kementerian Pariwisata dan Pemda. 4) Program Digitalisasi Pengoperasian pelayaran dan pelabuhan, maritim logistic menggunakan teknologi informasi untuk meningkatkan kecepatan, jangkauan wilayah, transparansi, anti monopoli dan kartel bersama kementerian Kominfo, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan (INSW, Bea Cukai, Pajak), Kementerian Pertanian (Karantina) dalam pengembangan aplikasi-aplikasi berasis IT seperti Inaportnet, IMRK, Logistik Communication, DO Online, E-ticketing,Vessel Monitoring & Management System (tracking position, cargo & passanger). 5) Program pengembangan dan penataan rute trayek dan tipe kapal bersama Kemenko Kemaritiman, Kementerian dalam negeri, Kementerian Pedesaan, BNPP. 6) Program pengendalian biaya logistik dan pengawasan program tol laut bersama perguruan tinggi dan asosiasi terkait seperti INSA, GAPASDAP, ALFI/ILFA, APBMI, PPBMI, ABUPI, GINSI, GPEI, ORGANDA, APTRINDO dll
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Program Tol Laut saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan yang tadinya tidak ada menjadi ada. Program baik yang sudah ada tentunya karena masih terdapat kekurangan, belum efisien dan belum mampu mencapai target 100% lalu dihentikan atau ditiadakan. Masyarakat di daerah 3TP telah merasakan kehadiran program Tol Laut Logistik dan bisa memberikan harapan pada ketersediaan Bapokting sebagai kebutuhan dasar manusia dan harapan memberikan keseimbangan perdagangan antara wilayah barat dan timur, penjualan hasil industry daerah dan pengembangan ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya. Program Tol Laut sesungguhnya bukan hanya masalah menyediakan pelabuhan dan kapal tetapi juga konektivitas antar moda salah satunya adalah ketersediaan Moda bagi Angkutan Sungai dan Danau (ASDP) dan perbaikan terus menerus System Logistic dan keseimbangan Supply and Demand pada setiap ekosistem yang ada. Hal ini membutuhkan sinergi dan keterpaduan antara Kementerian Lembaga, pelaku usaha transportasi dan pemerintah daerah.
Oleh: Wisnu Handoko dan Willem Thobias Fofid (Angkatan 21)
Download Applikasi CABM untuk aktifitas pembayaran anda